Typhoon Yagi Hantam Vietnam: Menguji Ketangguhan di Tengah Krisis Iklim

Ilustrasi Topan (Foto: AFP/NHAC NGUYEN)

Beberapa hari lalu, Vietnam kembali diterjang topan besar yang mengakibatkan bencana besar di wilayah utaranya. Badai ini, dikenal sebagai Typhoon Yagi, mengakibatkan kerusakan yang sangat parah di provinsi Quang Ninh dan Haiphong. Sedikitnya 35 korban jiwa dilaporkan akibat banjir bandang dan tanah longsor, dengan banyak orang lainnya hilang dan puluhan terluka. Tak hanya itu, jutaan orang terkena dampak pemadaman listrik, dan infrastruktur di beberapa wilayah nyaris lumpuh total​(Public Radio Tulsa).

Kejadian ini bukanlah hal yang asing bagi Vietnam, negara yang setiap tahun menghadapi beberapa topan besar. Berada di garis depan jalur topan di Samudra Pasifik, Vietnam menjadi salah satu negara dengan risiko tinggi terhadap bencana angin topan. Setiap tahun, dari bulan Juni hingga November, angin badai tropis berkekuatan besar menghantam wilayah pesisir negara ini. Dan pada 2024, Typhoon Yagi termasuk salah satu yang paling mematikan, menghancurkan tidak hanya rumah-rumah penduduk, tetapi juga lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupan banyak orang.

Nah, sekarang mari kita bandingkan situasi ini dengan Indonesia, yang juga berada di Asia Tenggara dan sering mengalami bencana alam. Meski sama-sama negara tropis, Indonesia jauh lebih jarang terkena topan besar seperti Vietnam. Ini karena Indonesia terletak lebih dekat ke khatulistiwa, yang membuat formasi badai topan besar lebih jarang terjadi. Namun, bukan berarti Indonesia bebas dari ancaman bencana. Justru, negara kita sering kali dilanda badai tropis dan hujan deras yang berujung pada banjir bandang dan tanah longsor, seperti yang terjadi pada Badai Tropis Seroja yang menghancurkan wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2021. Meski intensitasnya tidak sebesar topan di Vietnam, kerusakan yang dihasilkan bisa sama parahnya.


Kenapa Vietnam Lebih Sering Kena Topan Besar?

Letak geografis Vietnam menjadikan negara ini sangat rentan terhadap topan. Posisi di sepanjang tepi barat Samudra Pasifik menempatkan Vietnam dalam jalur langsung dari badai tropis yang terbentuk di lautan luas. Badai-badai ini membawa angin kencang yang bisa mencapai lebih dari 100 km/jam, disertai dengan hujan deras yang menyebabkan banjir di wilayah pesisir dan pegunungan. Setiap tahun, Vietnam menghadapi setidaknya 8 hingga 10 topan besar, membuat pemerintah dan penduduk harus selalu siaga.

Sementara itu, Indonesia lebih terlindungi dari badai semacam ini. Posisi yang dekat dengan khatulistiwa mencegah badai besar terbentuk, tetapi Indonesia tidak sepenuhnya bebas dari ancaman. Pada musim hujan, kita menghadapi angin muson yang membawa hujan deras. Ini sering kali menyebabkan banjir besar di wilayah perkotaan serta tanah longsor di daerah pegunungan dan dataran tinggi. Meskipun intensitas badai di Indonesia lebih rendah, tetap saja kita menghadapi bencana cuaca ekstrem secara reguler.


Perubahan Iklim: Mengapa Semakin Parah?

Baik Vietnam maupun Indonesia sedang menghadapi dampak nyata dari perubahan iklim. Pemanasan global menyebabkan suhu lautan meningkat, yang pada gilirannya memperkuat badai tropis. Typhoon Yagi adalah salah satu contohnya, dengan kekuatan yang lebih besar dari badai-badai sebelumnya. Angin lebih kencang, curah hujan lebih deras, dan dampaknya semakin meluas. Di Indonesia, kita juga merasakan perubahan ini dalam bentuk curah hujan yang lebih ekstrem dan musim kemarau yang lebih panjang.

Selain itu, dengan naiknya permukaan laut akibat pemanasan global, banjir rob di daerah pesisir Vietnam dan Indonesia semakin parah. Tanpa upaya serius dalam mitigasi perubahan iklim, bencana seperti ini akan semakin sering terjadi dan menghancurkan kehidupan masyarakat yang bergantung pada hasil pertanian dan perikanan.


Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Di tengah situasi yang semakin rumit ini, penting bagi kita untuk memperkuat sistem tanggap bencana dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Teknologi seperti blockchain bahkan mulai digunakan untuk membantu mengatasi bencana. Misalnya, blockchain bisa meningkatkan efisiensi distribusi bantuan dan mempermudah pengelolaan data terkait bencana. Ini adalah masa depan yang bisa membantu mempercepat respons terhadap bencana seperti topan atau banjir, serta memperkuat sistem penanganan pasca-bencana.

Selain itu, kita harus mulai mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang menjadi penyebab utama perubahan iklim. Energi bersih seperti tenaga surya, angin, dan biomassa harus lebih didorong dan dipromosikan, baik di Vietnam maupun Indonesia, agar krisis iklim tidak terus memperburuk situasi.


Kesimpulan

Vietnam dan Indonesia mungkin menghadapi jenis ancaman yang berbeda, tetapi keduanya berada dalam situasi yang sama-sama sulit. Vietnam lebih sering terkena topan besar yang membawa kehancuran di wilayah pesisir, sementara Indonesia berjuang menghadapi banjir dan tanah longsor akibat badai tropis dan curah hujan yang tinggi. Namun, satu hal yang pasti: perubahan iklim memperburuk segalanya.

Apa yang terjadi di Vietnam dengan Typhoon Yagi bisa menjadi peringatan bagi kita semua. Bukan hanya di Vietnam, tapi juga di Indonesia dan seluruh dunia, kita harus mulai beradaptasi dengan perubahan ini. Teknologi, mitigasi, dan upaya kolektif harus menjadi fokus kita untuk menghadapi krisis yang akan datang.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama