Normalisasi Gen Z

sumber: pixabay.com


Ini adalah kali kedua tulisan saya ditolak oleh salah satu platfrom yang dapat dikatakan cukup baik menampung aspirasi atau suara orang biasa yaitu Mojok. Sebetulnya saya bangga dengan website tersebut. Ya mungkin tulisan saya tidak terlalu menarik bagi editor atau pembaca, jadi ya ditolak. Dan di bawah ini adalah tulisan saya yang saya kirim ke platfrom tersebut.

Dikatakan bahwa Indonesia tahun 2045 memiliki generasi emas. Artinya para Gen Z menjadi generasi tersebut. Beban itu sepertinya harus mereka pikul. Bukan sepertinya, tapi memang harus.

 

Relevansinya tidak semudah itu. Memang kesannya pesimis. Lihatlah saja, dukungan untuk generasi tersebut hampir tidak ada. Agaknya.

 

Pernyataan demi pernyataan yang beredar dalam dunia maya, lagaknya memberatkan generasi yang satu ini. Maksud saya adalah olokan yang terkesan memojokkan pandangan para Gen Z. mereka, para sender, membeberkan mengenai kepesimisannya. Saya tidak begitu memikirkan latar belakang sender, bagi saya itu tidak begitu penting.

 

Sebagaimana diketahui, setiap orang memiliki pandangannya masing-masing. Pandangan ini berasal dari pola pikir yang kita sebut mindset. Sebenarnya setiap saya menuliskan artikel, terutama ini kali pertama saya menuliskan di Mojok, saya sedikit ragu-ragu, takutnya tidak sesuai dengan persepsi para pembaca. Karena kembali lagi pada kalimat awal, bahwa setiap orang memiliki pandangan yang berbeda. Tapi, saya tetap bertanggung jawab atas tulisan ini.

 

Oke, tentu saja mereka, para Gen Z juga memiliki mindset yang berbeda-beda. Ketika melihat demikian, saya jelas tidak setuju bila pernyataan berupa olokan itu digeneralisir pada setiap pribadi yang menyandang gelar tersebut.

 

Terancamnya Kebebasan Berpendapat?

 

Sebetulnya mengenai keadaan berpendapat saat ini sungguh telah bebas. Akan tetapi, esensi kebebasan berpendapat terkesan seperti kebebasan yang sebebas-bebasnya, asal ngomong yang penting bunyi. Persepsi tersebut akan menimbulkan anarkisme di kalangan para pendengar atau pembaca.

 

Sebenarnya tidak menjadi masalah, bila berpendapat yang sungguh bebas tersebut diutarakan. Akan menjadi suatu masalah bila kebebasan tersebut nampaknya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

 

Maka akan lebih baik, bila suatu pendapat didasarkan pada suatu pemikiran yang sungguh relevan. Dalam artian lain, kita memiliki suatu gagasan lain yang mendukung gagasan tersebut. Gagasan tersebut saya pikir perlu. Antisipasi terhadap setiap pandangan pribadi yang mungkin membutuhkan penjelasan lebih jauh sehingga tidak berdasarkan penafsiran pribadi masing-masing.

 

Akan tetapi, saya pikir gagasan-gagasan yang dilontarkan, yang seringkali berada pada dunia digiltal, terkesan tidak relevan. “Bilamana ada asap, tentu ada api”, begitulah bunyi peribahasa yang menggambarkan sebab-akibat. Mungkin, kita perlu mengkaji lebih jauh dan mendengarkan berbagai pandangan para Gen Z untuk mengetahui lebih jauh.

 

Secara hakikat, kita sebetulnya tidak memiliki batasan untuk berbendapat. Meskipun, pendapat kita terkadang tidak didengarkan, alih-alih didengarkan, didengar pun tidak, perlunya melayakkan gagasan bagaikan setetes air yang terus menetes pada batu. Rapuh juga batu tersebut.

 

Demikian juga ketika olokan demi olokan masuk ke dalam pemikiran Gen Z, akan terjadi validasi yang sulit untuk dihilangkan. Jadi, jangan salahkan mereka, bila olokan tersebut menjadi suatu kenyataan.

 

Serba Instan?

 

Secara hakikat, pribadi manusia menginginkan “sesuatu” dengan mudah. Tetapi, sesuai dengan prinsip hukum kebalikan, segala “sesuatu” yang didapatkan dengan mudah akan sulit untuk dipertahankan. Tentu saja, la wong mudah kok cara dapatinnya.

 

Berbeda, bila “sesuatu” yang diingikan sulit untuk didapatkan. Tentu saja, akan terjadi pemeliharaan terhadap “sesuatu” tersebut supaya dipertahankan.

 

Akan tetapi, pandangan saya bukanlah hal barusan. Segala sesuatu yang didapat dengan mudah, sesungguhnya tidaklah mudah. Demikianlah esensi dari hukum kebalikan yang saya ketahui. Atau, jika kurang tepat mungkin akan saya lihat dan dengarkan lagi mengenai persepsi saya tersebut.

 

Misalkan begini, ketika lapar saya harus memasak atau saya harus pergi membeli ke warung makan. Bagaimana jika, saya lapar, saya tidak harus memasak atau ke warung makan, biarkan makanan itu datang pada saya. Alhasil melalui berbagai proses yang terkesan tidak mudah, didapatilah software pengatar makanan yang dikenal dengan Go Food.

Kemudahan ini seringkali dicap menjadi sesuatu yang instan. Ya memang demikian. Gen Z adalah generasi instan. Tetapi, perlu diketahui, itulah pola berpikir untuk berinovasi. Jadi, jika dikatakan bahwa Gen Z adalah generasi instan, maka hakikatnya Gen Z adalah perwujudatan ketidak instanan. Saya rasa sulit untuk dipahami.

 

Benangnya Hilang

 

Perubahan demi perubahan akan selalu dirasakan oleh setiap pribadi. Semakin hari semakin menua. Ya begitulah manusia. Tapi, perubahan mengenai sifat setiap pribadi hampir nihil disadari beberapa pihak.

,

Gen Z datang membawa sebagian besar perubahan. Tentu saja, generasi lainnya juga memiliki hal tesebut. Generasi lainnya memiliki ceritanya masing-masing. Setiap pribadi generasi juga memiliki ceritanya yang orisinil.

 

Demikianlah Gen Z yang saat ini berperan menjadi salah satu aktor dalam keadaan ini. Artinya tetap ada aktor-aktor lainnya dalam keadaan sekarang ini dan mereka menyadarinya.

 

Maka, saya rasa artian dalam “Normalisasi Gen Z” ini tentang merangkul perubahan dan memahami bahwa setiap generasi membawa perubahan. Artian ini menangatakan bahwa sebelumnya memanglah tidak terdapat penerimaan mengenai perubahan generasi. 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama